Rabu, 01 April 2015

mata kuliah wacana materi prasarat wacana dalam linguistik

Wacana menurut Kridalaksana (1993: 231) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Hal ini sejalan dengan pengertian yang disebutkan oleh Tarigan (2009:19) bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan dan tertulis.
Berbeda dengan Syamsudin (1992: 5) yang menyebutkan bahwa wacana ialah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsure segmental maupun nonsegmental. Wacana dalam pengertian ini memiliki penyajian yang teratur, sehingga tidak menyalahi aturan yang telah ditetapkan, sehingga layak disebut sebagai wacana. Seperti yang disebutkan oleh Alwi, dkk (2003: 419) bahwa rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk satu kesatuan yang dinamakan wacana. Namun jika dibandingkan dengan pengertian dari Vandjik (1977: 3) yang menyebutkan bahwa wacana adalah bangun teoritis yang abstrak (The abstract theoretical constract).
Pengertian-pengertian tersebut pada hakikatnya memiliki kesamaan dalam linguistik.  Jika pengertian dari Vandjik ini berbeda dari beberapa pengertian para ahli sebelumnya. Maka pengertian wacana yang mengacu pada tingkat tertinggi pada linguistik adalah pengertian yang tepat. Bahasa atau linguis, memiliki beberapa wujud baik itu lisan maupun tulis, baik itu verbal atau non verbal. Sedangkan wacana sendiri juga dapat menjadi beberapa bentuk, sehingga menduduki tataran tertinggi dalam linguistik setelah kalimat. Hal ini ditilik kembali pada beberapa kesamaan pengertian, sebagai berikut.
1.    wacana adalah satuan bahasa terlengkap; lengkap secara gramatikal berisi fonem, morfem/kata, frasa, klausa, dan kalimat;
2.    Wacana terdapat kohesi dan koherensi; antara kalimat yang satu dengan yang lain atau antara kata yang satu dengan kata yang lain saling berkesinambungan dan membentuk proporsi yang teratur, sehingga dapat dipahami;
3.    Wacana bisa bersifat abstrak, namun dikembalikan lagi, apanila abstrak dalam arti wujudnya berupa simbol, bukan kalimat, bukan kata, atau bukan sejenis yang ada dalam tataran linguistik, maka jika diperhatikan sesama, sebuah simbol memiliki makna atau tema yang dapat dijabarkan dalam bentuk serangkaian kata atau kalimat yang memiliki kohesi dan koherensi, dan dapat dimengerti. Sehingga keabstrakan dalam suatu hal, apabila ia memiliki makna, maka dapat disebut wacana.
2.2 Persyaratan Terbentuknya Wacana
                Pembahasan berikutnya adalah mengenai persyaratan terbentuknya wacana. Setelah mengetahui pengertian-pengerti awacana dari para ahli, maka persayaratan wacana juga akan diketahui. Misalnya saja dari Tarigan (2009: 19) yang menyebutkan wacana ialah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan dan tertulis. Dari pengertian ini sudah diketahui bahwa wacana memiliki syarat dari ungkapan “dengan koherensi dan kohesi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata,” dapat ditemukan syarat, yakni koherensi dan kohesi.
Akan tetapi itu saja tidak cukup untuk memenuhi syarat dari terbentuknya wacana. Oka dan Suparno (1994: 260-270) menyebutkan jika wacana akan terbentuk bila memenuhi tiga syarat pokok, yakni topik, tuturan pengungkap topik, serta kohesi dan koherensi. Sedangkan menurut Widowson (1978:22) wacana mempunyai dua hal penting, yaitu proposisi (sejajar dengan topik) dan tindak tutur (tuturan pengungkap topik).
Berikut ini penjabaran beberapa hal yang menjadi prasyaratan wacana.
1.      Topik.
Sebuah wacana mengungkapkan satu bahasan atau gagasan. Gagasan tersebut akan diurai, membentuk serangkaian penjelasan tetapi tetap merujuk pada satu topik. Sehingga topik yang diangkat atau yang dimaksud memberikan suatu tujuan. Tujuan-tujuan yang teradapat dalam wacana, dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis wacana. Seperti wacana persuasif, tujuannya untuk mempengaruhi pembaca. Atau bisa berupa simbol huruf P pada rambu-rambu lalu lintas, memberikan tujuan menginformasikan pengguna jalan, bahwa tempat bersimbol P, adalah tempat parkir.
2.      Kohesi dan Koherensi
Sebuah wacana biasanya ditata secara serasi dan ada kepaduan antara unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana (kohesi), sehingga tercipta pengertian yang baik (koherensi). Unsur kohesi tersebut misalnya dicapai dengan hubungan sebab-akibat, baik antarklausa maupun antarkalimat (Depdikbud, 1988:343-350). Kekohesifan dalam suatu wacana dapat diperoleh dari penggunaan dalam memadukan beberapa aspek  gramatikal (seperti; konjungsi, elipsi, kata ganti, dan lain-lain), aspek semantik, dan aspek kebahasaan lainnya.
3.      Proporsional
Prosorsional yang dimaksud ialah keseimbangan dalam makna yang ingin dijabarkan dalam wacana, atau makna yang terdapat dalam wacana, ialah seimbang. Misalnya apabila sebuah wacana persuasif, wacana yang mempengaruhi pembaca untuk membeli suatu produk, maka dalam wacana tersebut harus terdapat kesinambungan yang tepat antara paragraf yang satu dengan yang lain. apabila paragraf pertama terdapat beberapa tuturan yang mempengaruhi pembaca dengan satu topik, maka paragraf kedua juga harus tetap meruju pada satu topik dan dimungkinkan lebih merujuk pada hal yang khusus. Sehingga antara paragraf yang satu dengan yang lain padu dan tidak membingungkn pembaca.
4.      Tuturan
Tuturan yang dimaksud adalah pengungkapan suatu topik yang ada dalam wacana. Baik tutur tulis atau tutur lisan. tuturan kaitannya menjelaskan suatu topik yang terdapat dalam wacana dengan tetap adanya kohesi dan koherensi yang proporsional di dalamnya.
Setelah diketahui beberapa persyaratan wacana, berikut ini terdapat beberapa contoh wacana.
1.       Wacana berbentuk tulisan
Wacana argumentasi
Wacana argumentasi adalah wacana yang bertujuan untuk mempengaruhi pembaca agar bisa menerima pendapat, ide, ataupun pernyataan yang dikemukakan oleh penulisnya. Untuk memperkuat pendapat atau idenya itu, penulis wacana argumentasi biasanya menyertakan data-data pendukung. Tujuannya, agar pembaca menjadi semakin yakin atas kebenaran yang telah disampaikan penulis.
Berikut sedikit contoh kutipan wacana argumentasi
Menyetop bola menggunakan  dada dan kaki dapat ia lakukan dengan sempurna. Tembakan kaki kanan serta kaki kirinya tepat dan keras. Sundulan yang dihasilkan dari kepalanya sering memperdaya kiper lawan. Bola seolah-olah menurut kehendak dirinya. Larinya sangat cepat bagaikan kijang. Menjadikan lawan sukar mengambil bola diantara kakinya. Operan bolanya akurat dan terarah. Amin benar-benar pemain bola profesional.
Tujuan yang ingin di capai melalui argumentasi tersebut, antara lain :
  • Melontarkan pandangan / pendirian
  • Mendorong atau mencegah
  • Mengubah tingkah laku pembaca
  • Menarik simpati
Hal-hal yang memenuhi persyaratan wacana:
1.      Terdapat tujuan yang mengarah ke topik
2.      Kohesi dan koherensi padu membetuk proporsional ketika dibaca
3.      Terdapat tuturan yang merujuk pada satu objek, yaitu “Amin benar-benar pemain bola profesional”
2.      Wacana berbentuk lambang atau simbol
Simbol P

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVq5Mk3NJfR9aNGEKL12BJZWgXawp4J5PHnYN9LD2snTjkdFki3w-fOX_wrKu5VbGeOIPpNVA_i-1jMBZuxy4suI9WplhHyYJHyO57wG5ntb8qRejqRbh-kjq3Eol90qBnzsK0TGKDV8TU/s1600/arti+rambu+lalu+lintas.jpg
“Jika kita melewati suatu jalan raya, entah itu tujuannya untuk ke sekolah, kantor, pasar, atau tempat lainnya, tentu kita sering melihat adanya rambu-rambu lalu lintas di kedua sisi jalan tersebut. Menurut Wikipedia, rambu lalu lintas adalah salah satu alat perlengkapan jalan dalam bentuk tertentu yang memuat lambang, huruf, angka, kalimat dan/atau perpaduan di antaranya, yang digunakan untuk memberikan peringatan, larangan, perintah dan petunjuk bagi pemakai jalan. Agar rambu dapat terlihat baik siang ataupun malam atau pada waktu hujan maka bahan harus terbuat dari material yang reflektif (memantulkan cahaya).”

Persyaratan yang masuk dalam wacana:

1.      Simbol menunjukkan topik

2.      Kohesi dan koherensi dalam penuturan sehingga membentuk penjelasan yang proporsional

3.      Wacana dalam bentuk dialog
HRD   : “Selamat pagi. Silahkan duduk
Pelamar: “Selamat pagi.”
HRD   : “Siapa nama Anda?”
Pelamar: “Nama saya Jennifer Dawson”
HRD   : “Ceritakan sedikit tentang diri Anda, Nona Dawson!”
Pelamar: “Saya adalah lulusan Universitas Stanford, jurusan Public Relatin dengan IPK 3,85. Saya memiliki beberapa pengalaman kerja yang tertulis dalam daftar riwayat hidup saya.”
HRD   : “Begitukah? Apakah Anda memiliki keterampilan komputer? Apakah Anda bisa bahasa lainnya?”
Pelamar: “Ya, saya punya keterampilan komputer. Saya bisa mengoperasikan MS Office, Corel Draw, Adobe Photoshop dan intenet. Dan saya bisa berbicara bahasa Jerman, Spanyol, Belanda dan Perancis.”
HRD   : “Wow… Menarik sekali. Dimana Anda belajar semua itu?”
Pelamar: “Saya belajar beberapa saat saya masih di universitas tapi saya juga mengambil kursus.”
HRD: “Pekerjaan ini menghendaki Anda melakukan banyak perjalanan, bagaimana menurut Anda? Apakah itu menjadi masalah buat Anda?”
Pelamar: “Itu tidak menjadi masalah sama sekali. Sejujurnya, saya sangat suka melakukan perjalanan.”
HRD   : “Baiklah kalau begitu, mungkin Andalah yang kami butuhkan, Nona Dawson. Saya akan menghubungi Anda setelah Dewan Direksi mengambil keputusan. Perusahaan ini membutuhkan seseorang yang memiliki kemampuan public relation. Sepertinya tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Saya harap kita dapat bertemu lagi secepatnya.”
Pelamar: “Saya juga berharap demikian, Tuan. Terima kasih atas wawancaranya. Selamat pagi.”
Dari percakapan tersebut dapat diidentifikasi yang memenuhi persyaratan wacana. Yaitu:
1.      Setiap pertanyaan dan sapaan, atau komunikasi dengan umpan balik memiliki kohesi dan koherensi yang sesuai. Pertanyaan dan jawaban yang dituturkan tidak melenceng.
2.      Memiliki topik, bisa diidentifikasi mulai dari percakapan awal hingga akhir, bahwa itu adalah interview pelamar kerja.

mata kuliah wacana materi hakikat wacana

.      Hakikat Wacana
Istilah wacana berasal dari bahasa sansakerta wac/wak/vak, artinya berkata berucap (Douglas, 1976:262). Menurut Webster wacana diartikan sebagai ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratannya harus dalam satu rangkaian (connected) dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat. Menurut Tarigan (dalam Djajasudarma, 1994:5), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat  atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata. Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang lengkap dan disusun secara teratur dan membentuk suatu makna.
  • Secara etimologi istilah "wacana" berasal dari bahasa sansekerta wac/wak/vak, artinya berkata berucap (Douglas, 1976:262). Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam lingkup morfologi bahasa sansekerta, termasuk kata kerja III parasmaepada (m) yang bersifat aktif, yaitu melakukan tindakan ujar. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Jadi wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan.  
  • Sobur Alex (2001) mengemukakan bahwa wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. 
  •  Dalam Kamus Besar Bahasa Jawa Kuno-Indonesia karangan Wojowasito (1989: 651), terdapat kata waca yang berarti "baca" kata u/amaca yang artinya "membaca" pamacam (pembacaan) ang/mawacana (berkata) wacaka (mengucapkan) dan wacana yang artinya "perkataan". 
  • Dalam dunia pendidikan formal, istilah wacana banyak digunakan sebagai nama badan atau sekolah, misalnya: Dharma Wacana, Satya Wacana, Widya Wacana dan sebagainya. Pemakaian kata wacana di belakang istilah-istilah tersebut mengandung moto, janji, atau perkataan yang dapat dipercaya. Dari berbagai uraian di atas, istilah wacana dapat dimaknai sebagai ucapan, perkataan, bacaan, yang bersifat konstekstual. 
  • Di sisi lain, istilah wacana diartikan sebagai bentuk terjemahan dari istilah bahasa Inggris "discourse" (Dede Oetomo, 1991:3). Kata discourse berasal dari bahasa latin "discursus" yang berarti "lari ke sana ke mari" atau "lari bolak-balik". Kata ini diturunkan dari "dis" (dari/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari). Jadi discursus berarti "lari dari arah yang berbeda". Perkembangan asal usul kata itu dapat digambarkan sabagai berikut: dis + currere -  discursus -   discourse (wacana) 
  • Menurut Webster (1983:522), memperluas makna discourse sebagai: komunikasi kata-kata, ekspresi gagasan-gagasan, risalah tulis, ceramah, dan sebagainya. Penjelasan itu mengisyaratkan bahwa discourse berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif, baik secara lisan maupun tulisan. Istilah discourse ini selanjutnya digunakan oleh para hali bahasa dalam kajian linguistik, sehingga kemudian dikenal istilah discourse  analysis (analisis wacana). 
  • Unsur pembeda antara "bentuk wacana" dengan "bentuk bukan wacana" adalah pada ada tidaknya kesatuan makna (organisasi semantis) yang dimilikinya. Oleh karena itu, kriteria yang paling menentukan dalam wacana adalah keutuhan maknanya. Contoh : "Bang ! baso, mie ayam dua .." Ucapan ini dapat dimaknai sebagai wacana karena mengandung keutuhan makna yang lengkap. Maksudnya ialah antara penutur dengan petutur saling memahami tuturan tersebut. Hal ini sangat bergantung dengan konteksnya. 
  • Anton M. Moeliono (1988:334), menyatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam kesatuan makna. Disamping itu, wacana juga berarti satuan bahasa terlengkap, yang dalam hierarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal yang terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh yang membawa amanat lengkap (Harimurti Kridalaksana, 1984:208).
  • Menurut HG. Tarigan (1987:27) wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan dan tertulis. Jadi, suatu kalimat atau rangkaian kalimat, dapat disebut wacana atau bukan wacana bergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupinya.
 
2.      Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa dikelompokan menjadi dua, yaitu fungsi transaksional dan interaksional. Menurut Brown dan Yule (1996: 1), fungsi transaksional bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual atau proposisional. Sedangkan fungsi interaksional bertujuan untuk memantapkan dan memelihara hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi.
Menurut Djajasudarma (1994:15) wacana dengan unit konversasi memerlukan unsur komunikasi yang berupa sumber (pembicara dan penulis) dan penerima (pendengar dan pembaca). Semua unsur komunikasi berhubungan dengan fungsi bahasa. Fungsi bahasa meliputi:
1.      Fungsi ekspresif yang menghasilkan jenis wacana berdasarkan pemaparan secara ekspositoris.
2.      Fungsi fatik (pembuka konversasi) yang menghasilkan dialog pembuka.
3.      Fungsi estetik, yang menyangkut unsur pesan sebagai unsur komunikasi.
4.      Fungsi direktif yang berhubungan dengan pembaca atau pendengar sebagai penerima isi wacana secara langsung dari sumber.
Menurut Hallyday (1992), fungsi bahasa sebagai alat komunikasi untuk keperluan:
1.      Fungsi instrumental, bahasa digunakan untuk memperoleh sesuatu.
2.      Fungsi regulatoris, bahasa digunakan untuk mengendalikan perilaku orang lain.
3.      Fungsi intraksional, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain
4.      Fungsi personal, bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain.
5.      Fungsi heuristik, bahasa dapat digunakan untuk belajar dan menemukan sesuatu
6.      Fungsi imajinatif, bahasa dapat difungsikan untuk menciptakan dunia imajinasi.
7.      Fungsi representasional, bahasa difungsikan untuk menyampaikan informasi.
 

 
2. Kedudukan Wacana dalam Satuan Kebahasaan 
 
Dalam satuan kebahasaan atau hierarki kebahasaan, kedudukan wacana berada pada posisi paling besar dan paling tinggi (Harimurti Kridalaksana, 1983:334). Hal ini disebabkan karena wacana sebagai satuan gramatikal dan sekaligus objek kajian linguistik yang mengandung semua unsur kebahasaan yang diperlukan dalam segala bentuk komunikasi. Kajian wacana akan selalu berkaitan dengan unsur-unsur kebahasaan yang dibawahnya, seperti fonem, morfem, kata, frasa, klausa, atau kalimat. 
 
Berdasarkan pengertian di atas, bahwa makna wacana memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Wacana tidak hanya diartikan sebuah teks ataupun  simbol tertentu, melainkan tuturan pun dapat dikatakan sebuah wacana asalkan ada penerima pesan, pesan, dan pemberi pesan. Hal ini syarat akan konteksnya. 

mata kuliah wacana materi teks, ko-teks, dan konteks



A.      Teks
Kridalaksana (2011:238) dalam Kamus Linguistiknya menyatakan bahwa teks adalah (1) satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak, (2) deretan kalimat, kata, dan sebagainya yang membentuk ujaran, (3)  ujaran yang dihasilkan dalam interaksi manusia. Dilihat dari tiga pengertian teks yang dikemukakan dalam Kamus Linguistik tersebut dapat dikatakan bahwa teks adalah satuan bahasa yang bisa berupa bahasa tulis dan bisa juga berupa bahasa lisan yang dahasilkan dari interaksi atau komunikasi manusia.
Fairclough (1995:4) menyatakan bahwa sebuah teks itu, secara tradisional merupakan bagian dari bahasa tertulis yang secara keseluruhan 'bekerja' seperti puisi atau novel, atau bagian yang relatif diskrit pekerjaan seperti sebuah bab. Kemuadian, secara konsepsi yang agak lebih luas dan telah menjadi umum dalam analisis wacana, di mana teks mungkin baik tertulis atau lisan, seperti kata-kata yang digunakan dalam percakapan juga dapat dikatkan sebagai suatu teks.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Teks tidak hanya berbentuk deratan kalimat-kalimat secara tulis, namun juga dapat berupa ujaran-ujaran atau dalam bentuk lisan.
Teks merupakan produk, dalam arti bahwa teks itu merupakan keluaran (output); sesuatu yang dapat direkam atau dipelajari (berwujud). Teks juga merupakan proses, dalam arti merupakan proses pemilihan makna yang terus-menerus, maksudnya ketika kita menerima atau memberi informasi dalam bentuk teks (lisan atau tulis) maka tentunya di dalam otak kita terjadi proses pemahaman (pemilihan makna) terhadap informasi tersebut, jangan sampai terjadi kesalahpahaman.

Adapun kriteria teks sebagai berikut:
1.    Kriteria yang bersifat internal teks:
Ø Kohesi: kesatuan makna
Ø Koherensi: kepaduan kalimat (keterkaitan antarkalimat)
2.    Kriteria yang bersifat eksternal teks:
Ø Intertekstualitas: setiap teks saling berkaitan secara sinkronis atau diakronis.
Ø Intensionalitas: cara-cara atau usaha-usaha untuk menyampaikan maksud atau pesan pembicaraan melalui sikap bicara, intonasi, dan ekspresi wajah. Intensionalitas berkaitan dengan akseptabilitas (penerimaan informasi).
Ø Informativitas: kuantitas dan kualitas informasi.
Ø Situasionalitas: situasi tuturan.

B.       Ko-teks
Dilihat berdasarkan makna dalam Kamus Linguistik (2011:137), ko-teks diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mendahului dan/atau mengikuti sebuah unsur lain dalam wacana. Koteks adalah teks yang mendampingi teks lain dan mempunyai keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya. Keberadaan teks yang didampingi itu bisa terletak di depan (mendahului) atau di belakang teks yang mendampingi (mengiringi).
Sebagai contoh pada kalimat “Selamat Datang” dan “Selamat Jalan” yang terdapat di pintu masuk suatu kota, daerah, atau perkampungan. Kedua kalimat di atas memiliki keterkaitan. Kalimat “Selamat Jalan” merupakan ungkapan dari adanya kalimat sebelumnya, yaitu “Selamat Datang”. Kalimat “Selamat Datang” dapat dimaknai secara utuh ketika adanya kalimat sesudahnya, yaitu “Selamat Jalan”. Salah satu teks tersebut berkedudukan sebagai ko-teks (teks penjelas) bagi teks lainnya.
Keberadaan koteks dalam suatu wacana menunjukkan bahwa struktur suatu teks memiliki hubungan dengan teks lainnya. Hal itulah yang membuat suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Ko-teks dapat menjadi alat bantu untuk menganalisis wacana. Dalam wacana yang cukup panjang sering sebuah kalimat harus dicarikan informasi yang jelas pada bagian kata yang lainnya.
Perhatikan contoh berikut ini.
Markusen adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Tidak hanya itu, dia juga seorang pengusaha dan mantan seorang dosen di salah satu PT ternama. Selain itu, beliau juga dikenal sangat baik oleh masyarakatnya.
Kata dia, beliau dan –nya yang terdapat pada kalimat kedua dan ketiga di atas mengacu kepada Markusen pada kaliamt pertama. Tafsiran itu didasarkan pada kalimat yang menyatakan bahwa Markusen adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Jadi, Markusen pada kalimat itu menjadi koteks bagi dia, beliau dan -nya.

C.      Konteks
Kleden (dalam Sudaryat, 2009:141) mengatakan konteks adalah ruang dan waktu yang spesifik yang dihadapi seseorang atau kelompok orang. Kemudian, Kridalaksana (2011:134) mengartikan konteks adalah (1) aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait mengait dengan ujaran tertentu, (2) pengetahuan yang sama-sama memiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham apa yang dimaksud pembicara. Menurut Mulyana (2005: 21) konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog.
Sehingga dapat disimpulkan konteks adalah sebagai situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
v Macam-macam konteks
1.    Konteks Situasi
Semua pemakaian bahasa mempunyai konteks. Ciri-ciri ‘tekstual’ memungkinkan wacana menjadi padu bukan hanya antara unsur-unsurnya dalam wacana itu sendiri tetapi juga dengan konteks situasinya.
Halliday & Hasan (1994) mengatakan yang dimaksud dengan konteks situasi adalah lingkungan langsung tempat teks itu benar-benar berfungsi atau dengan kata lain, konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis).
Ciri-ciri konteks yang relevan dalam konteks situasi, yaitu:
a)    Pembicara/Penulis (Addressor)
Pembiacara atau penulis adalah seseorang yang memproduksi/menghasilkan suatu ucapakan. Mengetahui si pembicara pada suatu situasi akan memudahkan untuk menginterpretasi pembicaraanya. Umpanya saja seseorang mengatakan “operasi harus dilakukan”. Kalau kita ketahui si pembicara adalah dokter, tentu kita akan paham yang dimaksud dengan operasi adalah membedah tubuh untuk mengobati penyakit. Tetapi jika yang berbicara adalah ahli ekonomi, kita akan paham bahwa yang dimaksud dengan operasi adalah mendistrubusikan beras ke pasar dari pemerintah untuk menyetabilkan harga.
Jadi, jelas sekali bagaimana pentingnya mengetahui si pembicara demi menafsikan pembicaraannya. Kalau tidak diketahui siapa pembicaranya, maka akan sulitlah untuk memahami kata-kata yang diucapkan atau dituliskan.
b)   Pendengar/pembaca (Addresse)
Pendengar/pembaca adalah seseorang yang menjadi mitra tutur/baca dalam suatu komunikasi atau dapat dikatakan seseorang yang menjadi penerima (recepient) ujaran.
Kepentingan mengetahui si pembicara sama pentingnya dengan mengetahui si pendengar, terhadap siapa ujaran tersebut ditujukan akan memerjelas ujaran itu. Berbeda penerima ujaran, akan berbeda pulalah tafsiran terhadap apa yang didengarnya.
c)    Topik pembicaraan (Topic)
Dengan mengetahui topik pembicaraan, akan mudah bagi seseorang pendengar/pembaca untuk memahami pembicaraan atau tulisan

d)   Saluran (Channel)
Selain partisipan dan topic pembicaraan, saluran juga sangat penting di dalam menginterpretasikan makna ujaran. Saluran yang dimaksud dapat secara lisan atau tulisan.
e)    Kode (Code)
Kode yang dimaksud adalah bahasa, dialek atau gaya bahasa seperti apa yang digunakan di dalam berkomunikasi. Misalnya, jika saluran yang digunakan bahasa lisan, maka kode yang dapat dipilih adalah dialek bahasa. Seseorang yang mengungkaplamn isi hatinya dengan bahasa daerah kepada temannya akan meresa lebih bebas, akrab, dan lain sebagainya dibandingkan dengan mengguankan Bahasa Indonesia.
f)    Bentuk Pesan (Message Form)
Pesan yang disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan ini bersifat penting. Menyampaikan tentang ilmu pasti misalnya, dengan rumus-rumus tertentu, pastilah berbeda dengan menyampaikan ilmu sejarah atau ilmu bahasa.
g)   Peristiwa (Event)
Peristiwa tutur tentu sangat beragam. Hal ini ditentukan oleh tujuan pembicaraan itu sendiri. Peristiwa tutur seperti wawancara atau dipengadilan akan berbeda dengan peristiwa tutur di pasar.
h)   Tempat dan waktu (Setting)
Keberadaan tempat, waktu, dan hubungan antara keduanya dalam suatu peristiwa komunikasi dapat memberikan makna tertentu. Di mana suatu tuturan itu berlangsung; di pasar, di kantor, dan lainnya. Demikian juga, kapan suatu tuturan itu berlangsung; pagi hari, siang hari, suasana santai, resmi, tegang, dan lainnya.
2.    Konteks Pengetahuan
Schiffirin (2007: 549) mengatakan bahwa teori tindak tutur dan pragmatik memandang konteks dalam istilah pengetahuan, yaitu apa yang mungkin bisa diketahui antara si pembicara dengan mitra tutur dan bagaimana pengetahuan tersebut membimbing/menunjukkan penggunaan bahasa dan interpretasi tuturannya.
Konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi empat macam, yaitu:
1)   Konteks linguistik, yaitu kalimat-kalimat di dalam percakapan.
2)   Konteks epistemis, adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan.
3)   Konteks fisik, meliputi tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan di dalam percakapan dan tindakan para partisipan.
4)   Konteks sosial, yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan.
Keempat konteks tersebut memengaruhi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, ciri-ciri konteks harus diidentifikasikan secara cermat, sehingga isi pesan dalam peristiwa komunikasi dapat dipahami dengan benar. Pertama, memertimbangkan pentingnya pemahaman tentang konteks linguistik. Karena dengan itu kita dapat memahami dasar suatu tuturan dalam komunikasi. Tanpa mengetahui struktur bahasa dan wujud pemakaian kalimat tertentu, kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Namun pengetahuan tentang struktur bahasa dan wujud pemakaian kalimat saja, kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Kemampuan tersebut harus dilengkapi dengan pengetahuan konteks fisiknya, yaitu dimana komunikasi itu terjadi dan apa objek yang dibicarakan. Kemudian, ditambah dengan pengetahuan kontek sosial, yaitu bagaimana hubungan pembicara dengan pendengar dalam lingkungan sosialnya. Terakhir harus memahami hubungan epistemiknya, yaitu pemahaman atau pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh pendengar dan pembicara.
Oleh karena itu, uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan (wacana) menunjukkan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memerikan bantuan untuk menafsirkan suatu wacana.