Implikatur
percakapan adalah implikasi pragmatik yang terdapat di dalam percakapan
yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan.
Sejalan dengan batasan tentang implikasi pragmatic, implikatur
percakapan itu adalah proposisi atau “pernyataan” implikatif, yaitu apa
yang mungkin diartikan, disiratkan atau dimaksudkan oleh penutur, yang
berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu
percakapan (Grice 1975:43, Gadzar 1979:38 dalam Rustono 1999:82).
Implikatur percakapan terjadi karena adanya kenyataan bahwa sebuah
ujaran nyang mempunyai implikasi berupa proposisi yang sebenarnya bukan
bagian dari tuturan itu (Gunarwan 1994:52 dalam Rustono 1999:82).
Didalam
implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud
tertentu yang tidak dituturkan bersifat tidak mutlak (Rahardi 2003
:85)Pembahasan tentang implikatur mencakupi pengembangan teori hubungan
antara ekspresi, makna, makna penutur, dan implikasi suatu tuturan. Di
dalam teorinya itu, ia membedakan tiga jenis implikatur, yaitu
implikatur konvensional, implikatur nonkonvensional, dan praanggapan.
Selanjutnya implikatur nonkonvensional dikenal dengan nama implikatur
percakapan. Selain ketiga macam implikatur itu, ia pun membedakan dua
macam implikatur percakapan, yaitu implikatur pecakapan khusus dan
implikatur percakapan umum. (Grice 1975:43-45 dalam Rustono 1999:83)
(1) Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperolah langsung dari makna kata, bukan dari prinsip percakapan. Tuturan berikut ini mengandung implikatur konvensional. Contoh:
a. Lia orang Tegal, karena itu kalau bicara ceplas-ceplos.
b. Poltak orang Batak, jadi raut mukanya terkesan galak.
Implikasi tuturan (a) adalah bahwa bicara ceplas-ceplos Lia merupakan
konsekuensi karena ia orang Tegal. Jika Lia bukan orang Tegal, tentu
tuturan itu tidak berimplikasi bahwa bicara ceplas-ceplos Lia karena ia
orang Tegal. Implikasi tuturan (b) adalah bahwa raut muka galak Poltak
merupakan konsekuensi karena ia orang Batak. Jika Poltak bukan orang
Batak, tentu tuturan itu tidak berimplikasi bahwa raut muka galak Poltak
karena ia orang Batak.
(2) Implikatur
nonkonvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik
yang tersirat di dalam suatu percakapan. Di dalam komunikasi, tuturan
selalu menyajikan suatu fungsi pragmatik dan di dalam tuturan percakapan
itulah terimplikasi suatu maksud atau tersirat fungsi pragmatik lain
yang dinamakan implikatur percakapan. Berikut ini merupakan contoh tuturan di dalam suatu percakapan yang mengandung suatu implikasi percakapan.
A: ”HP mu baru ya? Mengapa tidak membeli N70 aja?”
B : ”Ah, harganya terlalu mahal.”
Implikatur percakapan tuturan itu adalah bahwa HP yang dibeli A murah sedangkan HP N70 harganya lebih mahal daripada HP yang dibeli A.
Dua
dikotomi implikatur percakapan selanjutnya adalah implikatur percakapan
umum dan implikasi percakapan khusus. (Grice 1975:45, Levinson
1983:131)
A. Implikatur
percakapan khusus adalah implikatur yang kemunculannya memerlukan
konteks khusus. Tuturan (1) hanya berimplikasi (2) jika berada di dalam
konteks khusus seperti pada percakapan (3) berikut ini.
(1) Langit semakin mendung, sebentar lagi hujan datang.
(2) (Ibu belum pulang dari pasar).
(1) A: Mengapa Ibu belum pulang?
B: Langit semakin mendung, sebentar lagi hujan datang.
B. Implikatur
percakapan umum adalah implikatur yang kehadirannya di dalam percakapan
tidak memerlukan konteks khusus. Implikatur (1) sebagai akibat adanya
tuturan (2) merupakan implikatur percakapan umum.
(1) Saya menemukan uang.
(2) (Uang itu bukan milik saya)
PRAANGGAPAN DAN PERIKUTAN
Sebuah
tuturan dapat dikatakan mempresuposisikan atau mempraanggapkan tuturan
lainnya, apabila ketidakbenaran tuturan yang di praanggapkan itu
mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan tidak dapat
dikatakan sama sekali (Rahardi 2003: 83-84). Meskipun di dalam batasan
tentang pragmatik yang dikemukakan Levinson (1983:9) hanya disebut dan
lazim dibicarakan di dalam bidang semantik (Lyons 1978:592), - oleh
karena keterkaitannya dengan ikhwal implikatur – istilah praanggapan (presupposition) dan perikutan (entailment)
juga biasa dibahas di dalam kajian pragmatik. Konsep tentang perikutan
berdekatan dengan konsep tentang praanggapan dan implikatur (Rustono
1999 : 105). Praanggapan atau presuposisi adalah apa yang digunakan
penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan (Stalnaker
1978:321).
Praanggapan
berupa andaian penutur bahwa mitra tutur dapat mengenal pasti orang
atau benda yang diperkatakan (Palmer, 1989:181; Stubbs, 1983:214, lyons,
1978:592, Austin, 1962:51 dalam Rustono 1999:105). Pendapat-pendapat
diatas mengakui adanya kesamaan pemahaman antara penutur dan mitra
tuturnya tentyang suatu hal yang manjadi pangkal tolak komunikasi
penutur. Dan dengan itu, komunikasi antarpeserta tutur dapat berjalan
tanpa hambatan. Sebuah tuturan dapat mempraanggapkan tuturan yang lain.
Sebuah tuturan dikatakan mempraanggapkan tuturan yang lain jika
ketidakberatan tuturan kedua atau yang dipraanggapan mengakibatkan
tuturan yang pertama atau mempraanggapkan tidak dapat dikatakan benar
atau salah (Palmer 1989:181, Austin 1962:50, lyons 1978:596). Misalnya
tuturan berikut ini:
A. Ade makan nasi goreng.
B. Hanik membaca tabloid Teen.
C. Istri kepala desa itu sangat cantik
Tuturan yang dipraanggapan oleh tuturan A, B, C masing-masing adalah tuturan D, E, dan F berikut ini:
: E. (Ada nasi goreng)
F. (Ada tabloid Teen)
G. (Ada istri)
Pemahaman tentang praanggapan oleh mitra tutur karena adanya tuturan yang mempraanggapkan. Tuturan yang mempraanggapkan itu dinyatakan (asserted) oleh penutur. Tuturan yang dipraanggapkan (presupposed) itulah yang dinamakan praanggapan.
Menurt
Kaswanti Purwo (1990:19) ikhwal praanggapan ini dapat pula digunakan
untuk menggali perbedaan ciri semantik verba. Verba jongkok dan duduk
merupakan dua verba yang memiliki perbedaan ciri semantik. Perbedaan
ciri semantik kedua verba itu terlihat dari dapat tidaknya tuturan (A)
sebagai praanggapan dari tuturan (B) dan (C) berikut ini.
A. Aku jongkok setelah berdiri lama.
B. Aku duduk setelah berdiri lama
C. ( sudah capek berdiri.)
Perikutan
adalah “implikasi” logis dari sebuah tuturan (Gunarwan 1994:52 dalam
Rustono 1999:108). Perikutan tidak lain merupakan bagian atau
konsekuensi mutlak dari sebuah tuturan (Wijana 1996:39-40 dalam Rustono
1999:108). Tuturan (A) berikut ini mengandung “implikasi” logis (B).
A. Ibu sedang memasak.
B. (Ibu bergerak.)
Verba memasak merupakan implikasi logis dari memasak. Hal itu terjadi karena tidak ada aktivitas memasak tanpa bergerak.
Sebagai
konsekuensi mutlak, perikutan merupakan sesuatu yang bersifat logis.
Tuturan (a) yang memprerikutan tuturan (b) sejalan dengan karakteristik
perikutan itu.
(a) Sekarang Ani kelas tiga SMP
(b) (Ani pernah SD)
Perikrutan
(c) juga merupakan konsekuensi logis dari tuturan (d). Dan karena itu,
tuturan (d) tidaklah merupakan tuturan yang berterima.
(c) Hani kelas tiga SMP
(d) (Hani sudah lulus SD.)
(e) ”Walaupun Hani sudah kelas tiga SMP, ia belum pernah SD”.
Dari
deskripsi itu, dapatlah dinyatakan bahwa keseluruhan isi tuturan dapat
mengandung apa yang dimaksud, apa yang dikatakan, dan apa yang
diimplikasi. Praanggapan, implikatur, dan
perikutan merupakan tiga istilah dengan konsep yang saling berdekatan.
Implikatur atau lengkapnya percakapan adalah proposisi yang tidak
merupakan bagian dari sebuah tuturan di dalam suatu percakapan dan tidak
pula merupakan konsekuensi yang harus ada dari sebuah tuturan
percakapan. Praanggapan merupakan pengetahuan bersama antara mitra tutur
dan penutur yang tidak dituturkan dan merupakan prasyarat yang
memungkinkan suatu tuturan benar atau tidak benar. Perikutan atau
entailment adalah “implikasi” logis dari sebuah tuturan atau konsekuensi
mutlak dari sebuah tuturan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar