1.
Wacana Lisan dan Tulis
Wacana berdasarkan media penyampaiannya dibedakan menjadi dua yaitu
wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan (spoken
discourse) adalah wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau media
lisan (Sumarlam dkk, 2010: 16). Untuk menerima dan memahami wacana lisan maka sang penerima atau pesapa harus
menyimak dan mendengarkannya. Di dalam wacana lisan terjadi komunikasi secara
langsung antara pembicara dengan
pendengar. Wacana tulis adalah wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau
media tulis (Sumarlam dkk, 2010: 16). Untuk dapat menerima dan memahami wacana
tulis maka sang penerima atau pesapa harus membacanya.
Willis Edmonsond (dalam Mulyana 2005: 52), dalam bukunya Spoken Discourse (wacana lisan) secara
tidak langsung menyebut bahwa wacana lisan memiliki kelebihan disbanding wacana
tulis. Beberapa kelebihan di antaranya ialah:
a.
Bersifat alami (natural) dan langsung
b.
Mengandung unsur-unsur prosodi bahasa
(lagu, intonasi)
c.
Memiliki sifat suprasentensial (di atas
struktur kalimat)
d.
Berlatar belakang konteks situasional
Bila dicermati dengan sungguh-sungguh, kelebihan-kelebihan tersebut ada
dasarnya memang sudah menjadi sifat dan wacana lisan. Sebab di sekeliling
wacana lisan, memeng sudah tersedia sejumlah aspek nonlinguistik yang
benar-benar tidak tampak secara eksplisit, tetapi ada dan sangat berpengaruh
terhadap makna dan keutuhan wacana itu
sendiri. Wacana tulis sering
dipertanyakan maknanya dengan teks atau naskah. Namun untuk kepentingan bidang
kajian wacana yang tampaknya terus berusaha menjadi disiplin ilmu yang mandiri
kedua istilah tersebut kurang mendapat tempat dalam kajian wacana. Apalagi,
istilah naskah atau teks tampaknya hanya berorientasi pada huruf sedangkan
gambar tidak termasuk di dalamnya. Padahal, gambar atau lukisan dapat dimasukan
pula kedalam jenis wacana tulis.
Sebagaimana dikatakan oleh
Harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana 2005: 52) wacana adalah satuan bahasa
yang terlengkap, yang dalam hierarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal
tertinggi, dan terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata,
kalimat, paragraf, atau karangan yang utuh (buku, novel, ensiklopedia dan
lain-lain) yang membawa amanat yang lengakap dan cukup jelas berorientasi pada
jenis wacana tulis.
2.
Wacana Berdasarkan Bentuk
Klasifikasi wacana berdasarkan bentuk menurut
Mulyana (2005) adalah sebagai berikut.
a.
Wacana Naratif
Wacana
naratif adalah bentuk wacana yang banyak dipergunakan untuk menceritakan suatu
kisah (Mulyana, 2005:48). Uraiannya cenderung ringkas, bagian-bagian yang
dianggap penting sering diberi tekanan atau diulang. Bentuk wacana naratif
umumnya dimulai dengan alenia pembuka isi, dan diakhiri oleh alenia penutup.
b. Wacana Prosedural
Wacana prosedural adalah rangkaian tuturan
yang melukiskan sesuatu secara berurutan yang tidak boleh dibolak-balik
unsure-unsurnya karena urgensi unsur terdahulu menjadi landasan unsure yang
berikutnya (Sumarlam, 2003: 20).
Wacana prosedural digunakan untuk memberikan petunjuk atau keterangan bagaimana
sesuatu harus dilaksanakan (Mulyana, 2005:
48).
Oleh karena itu, kalimat-kalimatnya berisi persyaratan atau aturan tertentu
agar tujuan kegiatan tertentu itu berhasil dengan baik.
c. Wacana Ekspositori
Wacana ekspositori adalah rangkaian tuturan
yang bersifat memaparkan suatu pokok pikiran (Sumarlam, 2003: 21). Wacana ekspositori bersifat menjelaskan
sesuatu secara informati (Mulyana, 2005:49). Bahasa yang digunakan cenderung
denotative dan rasional. Termasuk dalam wacana ini adalah ceramah ilmiah,
artikel dimedia massa.
d. Wacana Hartatori
Wacana hartatori digunakan untuk mempengaruhi
pendengar atau pembaca agar tertarik terhadap pendapat yang dikemukakan
(Mulyana, 2005: 49).
Sifatnya persuasif,
tujuannya
ialah mencari pengikut atau penganut agar bersedia melakukan, atau paling tidak
menyetujui, pada hal yang disampaikan dalam wacana tersebut. Contoh wacana
semacam ini adalah pidato politik, iklan, atau sejenisnya.
e. Wacana Dramatik
Wacana dramatik adalah bentuk wacana yang
berisi percakapan antar penutur. Sedapat mungkin menghindari atau meminimalkan
sifat narasi didalamnya (Mulyana, 2005:
50).
Contoh teks dramatik adalah scenario film/sinetron, pentas, wayang orang
ketoprak, sandiwara, dan sejenisnya.
f. Wacana Epistoleri
Wacana epistoleri biasa dipergunakan dalam
surat-menyurat (Mulyana, 2005: 50).
Pada umumnya memiliki bentuk dan sistem tertentu yang sudah menjadi kebiasaan
atau aturan. Secara keseluruhan, bagian wacana ini diawali oleh alenia pembuka,
dilanjutkan bagian isi, dan diakhiri alenia penutup.
g. Wacana Seremonial
Wacana seremonial adalah bentuk wacana yang
digunakan dalam kesempatan seremonial (upacara). karena erat kaitanya dengan
konteks situasi dan kondisi yang terjadi dalam seremoni, maka wacana ini tidak
digunakan disembarang waktu (Mulyana, 2005:
50).
Inilah bentuk wacana yang dinilai khas dan khusus dalam Bahasa Jawa. Wacana ini
umumnya tercipta karena tersedianya konteks sosio-kultural yang
melatarbelakanginya. Secara keseluruhan, teks wacana seremonial terdiri dari
alenia pembuka, dilanjutkan bagian isi, dan diakhiri penutup. Contoh wacana ini
adalah pidato, dalam upacara peringatan hari-hari besar, upacara pernikahan (Jawa:
tanggan wacana manten).
3.
Wacana Berdasarkan Jumlah Penuturnya
Berdasarkan jumlah penuturnya,
wacana dapat dikelompokkkan menjadi dua, yaitu (1) wacana monolog dan (2)
wacana dialog (Mulyana, 2005: 53).
a.
Wacana Monolog
Wacana monolog adalah
jenis wacana yang dituturkan oleh satu orang. Umumnya, wacana monolog tidak
menghendaki dan tidak menyediakan alokasi waktu terhadap respon pendengar atau
pembacanya. Penuturannya bersifat satu arah, yaitu dari pihak penutur. Beberapa
bentuk wacana monolog, antara lain pidato, pembacaan puisi, khotbah Jumat,
pembacaan berita, dan sebagainya. Pada kenyataannya, dalam suatu orasi,
ceramah, atau pidato tertentu, penutur secara improvisasi kadang-kadang justru
mencoba berinteraksi dengan pendengarnya. Cara yang dipakai, misalnya dengan
melontarkan pertanyaan, “Bagaimakah sikap kita untuk andil dalam pembangunan
pendidikan bangsa ini?”. Dalam konteks seperti ini, wacana monolog berubah
menjadi wacana semi-monolog.
b.
Wacana Dialog
Wacana dialog adalah jenis
wacana yang dituturkan oleh dua orang atau lebih. Jenis wacana ini biasanya
berbentuk tulis ataupun lisan. Wacana dialog tulis memiliki bentuk yang
sama dengan wacana drama (dialog skenario,
dialog ketoprak, lawakan, dan sebagainya).
Dalam kajian wacana,
istilah penutur (addreser) atau orang
pertama (O1), terkadang disebut pula sebagai penyapa, pembicara, penulis(wacana
tulis). Sedangkan petutur (addresee)
atau (O2), sering disamakan dengan pesapa, mitra bicara, lawan bicara, pasangan
bicara, pendengar, pembaca (wacana tulis).

Prolog diucapkan oleh
seorang narator. Bagian naskah drama ini letaknya di awal sebelum drama
dimulai. Sementara itu, epilog merupakan bagian naskah drama yang berupa
simpulan atau penutup.
4.
Wacana
Berdasarkan Sifatnya
Berdasarkan
sifatnya, wacana dapat digolongkan menjadi dua, yaitu wacana fiksi dan wacana
nonfiksi.
a.
Wacana
Fiksi
Wacana fiksi
adalah wacana yang bentuk dan isinya berorientasi pada imajinasi. Bahasanya
menganut aliran konotatif, analogis, dan multiinterpretable. Umumnya penampilan
dan rasa bahasanya dikemas secara literer atau estetis. Di samping itu, tidak
tertutup kemungkinan bahwa karya fiksi mengandung fakta, dan bahkan hampir sama
dengan kenyataan. Namun sebagaimana proses kelahiran dan sifatnya karya semacam
ini tetap termasuk dalam kategori fiktif. Bahasa yang digunakan wacana fiksi
umumnya menganut asas kebebasan berpuisi dan kebebasan bergramatika. Wacana
fiksi dapat dipilah menjadi tiga jenis yaitu wacana prosa, wacana puisi, dan
wacana drama.
b.
Wacana
Nonfiksi
Wacana nonfiksi
disebut juga sebagai wacana ilmiah. Jenis wacana ini disampaikan dengan pola
dan cara-cara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahasa yang
digunakan bersifat denotatif, lugas, dan jelas. Aspek estetika bukan lagi
menjadi tujuan utama. Secara umum penyampaiannya tidak mengabaikan
kaidah-kaidah gramatika bahasa yang bersangkutan. Beberapa contoh wacana
nonfiksi antara lain adalah laporan penelitian, buku materi perkulaihan,
petunjuk mengoperasikan pesawat terbang, dan sebagainya.
5.
Wacana
Berdasarkan Isi
Klasifikasi
wacana berdasarkan isi relatif mudah dikenali. Hal ini disebabkan antara lain
telah tersedianya ruang dalam berbagai media yang secara khusus langsung
mengelompokkan jenis-jenis wacana atau dasar isisnya. Isi wacana sebenarnya
lebih bermakna sebagai nuansa atau muatan tentang hal yang ditulis, sebutkan,
diberitakan, atau diperbincangkan oleh pemakai bahasa. Wacana berdasarkan isi
dapat dipilah menjadi wacana politik, wacana sosial, wacana ekonomi, wacana
budaya, wacana hukum, dan wacana kriminalitas.
a.
Wacana
Politik
Sebagian orang
memandang dunia politik sebagai dunia siasat, penuh strategi, dan mungkin
kelicikan. Lingkungan politik yang demikian itu pada gilirannya melahirkan
istilah-istilah tertentu yang maknanya sangat terbatas.
Contoh: PKS Ngotot Bertahan di Koalisi
Munculnya wacana tersebut disebabkan oleh adanya
konflik di dalam tubuh partai keadilan sejahtera dengan partai demokrat yang
berujung pada pendepakkan partai keadilan sejahtera dengan partai demokrat.
b.
Wacana
Sosial
Wacana sosial
berkaitan dengan kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari masyarakat memang
cukup sulit untuk mengatakan apa persoalan yang bukan merupakan persoalan
sehari-hari.
Contoh: Jatah Cukai Tembakau Masih Minim
Munculnya wacana tersebut terkait dengan minimnya
jatah cukai tembakau. Pendapatan yang diterima negara dari para produsen rokok
dan tembakau tidak seimbang dengan dampak buruknya. Pencemaran limbah padat dan
bahan berbahaya beracun BLH Boyolali pun telah disosialisasikan, selain itu
masyarakat juga mendapatkan penerangan tentang pengelolaan sampah.
c.
Wacana
Ekonomi
Wacana ekonomi
berkaiatan dengan persoalan ekonomi. Dalam wacana ekonomi ada beberapa register
yang hanya dikenal di dunia bisnis dan ekonomi. Ungkapan-ungkapan seperti
persaingan pasar, biaya produksi tinggi, inflasi, dan devaluasi.
Contoh: Listrik Naik Industri Tekstil Paling Terpukul
Munculnya wacana tersebut disebabkan industri semen
dan industri tekstil yang daya saingnya menurun signifikan akibat kenaikan TDL,
sengan survei sebagai berikut: 450-900 VA konsorsium mengukur kemampuan bayar
pelanggan di perkotaan dan pedesaan dengan membagi penghasilan dikurangi
pengeluaran dengan pemakaian KWH.
d.
Wacana
Budaya
Wacana budaya
berkaitan dengan aktivitas kebudayaan. Representasi aktifitas budaya umumnya
lebih dekat kepada hal-hal yang bersifat kedaerahan. Namun pada wilayah
kewacanaan ini kebudayaan lebih dimaknai sebagai wilayah kebiasaan atau
tradisi, adat, sikap hidup, dan hal-hal yang berkaitan dengan manusia
sehari-hari.
Contoh: Belajar Berbudaya Kepada Cina
Munculnya wacana tersebut disebabkan seni budaya
ritual konghuchu adalah warisan leluhur yang harus dilestarikan sepanjang masa.
Tidak boleh terkendala ruang dan waktu. Dan dibaliknya ada tujuan mulia yakni
bertemu dan berkumpul dengan keluarga dan sanak saudara. Maka itu tidak ada
salahnya jika bangsa Indonesia meniru kesuksesan bangsa Cina dalam hal seni
budaya dan tradisi ritual khas seperti yang dimiliki oleh suku Jawa, Sunda,
Batak, dan lain-lainnya.
e.
Wacana
Hukum dan Kriminalitas
Persoalan hukum
dan kriminalitas sekalipun bisa dipisahkan, namun keduanya bagaikan dua sisi
mata uang, berbeda tapi menjadi satu kesatuan. Kriminalitas menyangkut hukum
dan hukum mengelilingi kriminalitas.
Contoh: Bupati Rina Melenggang Dua Jaksa Disoal
Seperti halnya jenis wacana lainnya ciri wacana hukum
dan kriminalitas dapat dikenali dari pemilihan kata yang digunakan. Pada contoh
tersebut dua jaksa orang yang dikenai status sangkaan perbuatan melawan hukum.
Masyarakat anti korupsi Indonesia juga memohon kepada hakim agar memerintahkan
jaksa agung, kejaksaan tinggi Jawa Tengah (termohon II) untuk melakukan proses
hukum selanjutnya sesuia dengan hukum yang berlaku serta melakukan penyidikan
Rina Iryani sebagai tersangka karena diduga telah menikati hasil korupsi
bersama terpidana lain.
f.
Wacana
Olahraga dan Kesehatan
Sebagai halnya
wacana hukum dan kriminalitas, dunia olahraga dan kesehatan juga dibedakan
meski sebenarnya tetap berkaitan secara timbal balik. Dalam hal ini pilihan
kata atau istilah khusus dan bermakna tertentu baru dapat ditafsirkan dengan
benar sepanjang terlebih dahulu diketahui konteks terjadinya wacana tersebut.
Contoh: Waspadai Gejala Buruk Kanker Ovarium
Wacana tersebut membahas tentang gejala terjadinya
kanker ovarium dan bagaimana cara mengatasinya.
6.
Wacana
Berdasarkan Gaya dan Tujuan
Sebagai
bentuk wacana bahasa iklan memiliki ciri dan karakter tertentu. Dalam iklan
penggunaan bahasa menjadi salah satu aspek penting bagi keberhasilan iklan.
Daya persuasi pada iklan dapat dirasakan pada pemilihan kata.
Contoh: Bangun
Rumah itu Seharusnya Tidak Main-main
untuk Hasil Kokoh Daya Rekat Tinggi Semen Gersik Jagonya
Daya persuasif
bahasa iklan dapat dirasakan pada pemilihan kata kokoh, dan daya rekat tinggi.
Untuk mendapatkan efek perlokusinya, dituturkan kata “Semen Gersik Jagonya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar